The Development of Psycholinguistics in the History of Psychology
Essay by review • November 27, 2010 • Research Paper • 2,500 Words (10 Pages) • 4,696 Views
Essay Preview: The Development of Psycholinguistics in the History of Psychology
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN TENTANG
PSIKOLINGUISTIK DALAM
SEJARAH PSIKOLOGI
BAB I
PENDAHULUAN
Psikologi kognitif kontemporer merupakan studi ilmiah yang mempelajari bagaimana manusia memperoleh, memasukkan, memanggil kembali serta memanipulasi informasi baik berupa informasi visual-spasial maupun informasi verbal.
Ide mengenai pikiran [thought], persepsi, proses belajar, memori, atensi, problem-solving serta perkembangannya telah dimulai sejak zaman yunani kuno. Para pemikir dan filsuf pada zaman dahulu mengembangkan filsafat untuk mendukung ide-ide mereka dan dalam perkembangannya, kita dapat pula menemukan akar dari psikologi kognitif didalamnya.
Pada pertengahan abad ke-19, ilmu filsafat mulai berkembang menjadi metode-metode ilmiah dan ilmu psikologi dilahirkan. Pada awalnya, permasalahan yang diteliti oleh para psikolog sama dengan yang telah dikembangkan dari masa yunani kuno seperti memori, persepsi, atensi, imagery, problem-solving dan lain sebagainya. Akan tetapi kemudian muncul aliran baru yaitu behaviorisme yang hanya mengukur fenomena yang dapat diobservasi saja sehingga topik-topik seperti imagery, atensi dan topik-topik lain yang berkaitan dengan kognisi tidak lagi menjadi bahan penelitian. Namun, pada pertengahan abad ke-20, topik-topik yang berkaitan dengan kognisi kembali diteliti dan menjadi bahan diskusi yang populer lagi. Pada masa kini, psikologi kognitif menjadi salah satu cabang ilmu psikologi yang penting serta berpengaruh terhadap cabang-cabang ilmu psikologi yang lainnya juga, mulai dari psikologi perkembangan sampai dengan psikologi Abnormal serta neuropsikologi.
Salah satu cabang ilmu yang berkembang dan merupakan cabang dari Psikologi kognitif adalah Psikolinguistik. Psikolinguistik adalah pendekatan gabungan melalui ilmu Psikologi dan ilmu linguistik bagi telaah atau studi pengetahuan bahasa, bahasa dalam pemakaian, perubahan bahasa dan hal-hal yang ada kaitannya dengan itu yang tidak begitu mudah dicapai atau didekati melalui salah satu dari kedua ilmu tersebut secara terpisah atau sendiri-sendiri (Lado, 1976). Definisi Psikolinguistik lain yang dikemukakan oleh Emmon Bach yaitu Psikolinguistik adalah suatu ilmu yang meneliti bagaimana sebenarnya para pembicara atau pemakai suatu bahasa membentuk atau membangun atau mengerti kalimat-kalimat bahasa tersebut (Bach, 1964).
Saya membahas sejarah perkembangan psikolinguistik karena psikolinguistik merupakan cabang dari psikologi yang menurut saya menarik untuk dibahas karena pada dasarnya bahasa merupakan aktivitas manusia yang memiliki prinsip dan prosedur yang sama dengan aktivitas kognitif lainnya, bahkan lebih kompleks. Psikolinguistik juga menarik karena bahasa sendiri bukanlah murni aktivitas mental, namun juga dipengaruhi oleh budaya yang turun temurun. Psikolinguistik dapat menjelaskan proses aktivitas bahasa secara umum, namun sebenarnya proses informasi bahasa yang terjadi di dalam otak sangatlah subjektif dan berbeda pada setiap individu.
Saya melihat bahwa psikolinguistik memiliki prospek yang cukup baik untuk berkembang di masa yang akan datang karena masih terdapat banyak permasalahan kognitif yang berkaitan dengan bahasa yang belum diteliti hingga kini. Kemudian, dengan psikolinguistik kita juga dapat lebih banyak meneliti dan mengetahui mengenai proses pembentukan, fungsi serta pemahaman bahasa yang terjadi pada manusia dari berbagai budaya yang ada di dunia ini.
BAB II
TAHAP AWAL
Plato (427 - 347 SM)
Plato merupakan seorang tokoh filsuf yang terkenal dengan teori dualismenya. Ia mengatakan bahwa dunia kejiwaan berisi ide-ide yang berdiri sendiri dan terlepas dari pengalaman hidup sehari-hari. Jiwa yang berisi ide-ide ini ia beri nama "Psyche". Dengan adanya teori ini, Plato secara tidak langsung mengakui adanya unsur jiwa yang covert atau tak terlihat pada manusia yang terpisah dari raga yang bersifat konkrit. Plato juga seorang penganut Nativisme. Nativisme menekankan pada adanya struktur pengetahuan dan kemampuan-kemampuan manusia yang dibawa dari lahir atau bersifat 'innate'. Hal ini mengacu pada adanya kemampuan-kemampuan kognitif yang telah ada sejak manusia dilahirkan.
Aristoteles (384 - 322 SM)
Aristoteles mengatakan bahwa segala sesuatu bermula dari rasio. Dari semua ide-ide yang dihasilkan oleh rasio, Aristoteles yakin bahwa segala sesuatu yang berbentuk kejiwaan (form) harus menempati suatu wujud tertentu (matters). Wujud atau matters diyakininya sebagai pernyataan atau ekspresi dari jiwa. Aristoteles juga mengatakan bahwa derajat pengetahuan serta kemampuan seseorang itu berasal dari pengalaman individual orang tersebut sendiri. Hal tersebut di atas disebut juga dengan empirisme. Karena menurut pendapat Aristoteles segala sesuatu harus bertitik tolak dari realita, yakni dari wujud atau matters itu. Empirisme menekankan bahwa lingkungan dan pola asuh berperan penting terhadap pembentukan kemampuan kognitif seseorang.
Rene Descartes (1596 - 1650)
Rene Descartes adalah seorang matematikawan, ahli ilmu faal dan juga seorang filsuf dari Perancis yang memiliki perhatian besar pada gejala kejiwaan. Konsepnya mengenai psikologi adalah bahwa psikologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang kesadaran. Jadi menurut Descartes, kesadaran adalah faktor yang utama dan menentukan dalam psikologi. Descartes merupakan tokoh yang meneruskan tradisi intelektual dari Nativisme, yaitu ia juga menyatakan bahwa terdapat ide-ide yang dibawa dari lahir oleh manusia. Descartes juga mengemukakan konsep "reflex arc" untuk menerangkan tingkah laku pada hewan dan sebagian besar tingkah laku pada manusia. Ia mengatakan bahwa hewan dan seringkali manusia bereaksi terhadap rangsang yang datang dari lingkungan dengan dasar prinsip refleks. Teorinya ini pada masa berikutnya akan menjadi dasar berkembangnya aliran behaviorisme.
John Locke (1632 - 1704)
John Locke adalah seorang filsuf dari Inggris yang juga ikut melanjutkan paham empirisme. Ia, seperti juga Aristoteles, mengatakan bahwa tidak ada satu pun hal yang dapat eksis atau mengada jika hal tersebut tidak dapat diukur atau dirasakan dengan panca indera. Hal ini berarti semua pengetahuan berasal dari pengalaman seseorang dengan lingkungannya yang dapat ia rasakan melalui panca inderanya.
...
...